Masa pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir setahun terakhir, membuat kalangan pengrajin cobek di Kecamatan Banyuresmi, Garut, Jawa Barat meradang.
SariAgri - Masa pandemi COVID-19 yang berlangsung hampir setahun terakhir, membuat kalangan pengrajin cobek di Kecamatan Banyuresmi, Garut, Jawa Barat meradang.
Restoran dan rumah makan terutama khas Sunda yang selama ini menjadi pangsa pasar terbesar mereka, terhempas akibat pembatasan sosial dan aktivitas masyarakat.
Cobek adalah alat dapur yang digunakan menghaluskan dan mencampur bumbu masakan. Alat itu berasal dari tanah liat yang dibentuk, kemudian dibakar hingga di jemur atau yang biasa disebut kerajinan tembikar.
Salah satu pengrajin cobek dari Kampung Babakan Pariuk,Desa Sukalaksana, Banyuresmi, Garut Ade Santi, (36) mengatakan, kebijakan pemerintah yang memberlakukan beberapa kali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat COVID-19 membuat usaha mereka kolaps.
“Banyak restoran dan rumah makan yang berhenti, sehingga menghentikan pesanan,” ujarnya, saat ditemui.
Kondisi itu berbanding lurus dengan lesunya penjualan pelaku usaha peralatan dapur, yang biasa menjual cobek di pasar tradisional hingga supermarket.
“Belum juga masuknya peralatan modern, membuat usaha kami semakin tersisihkan,” kata dia.
Ade menyatakan, usaha cobek yang ia jalankan merupakan usaha keluarga yang diwariskan secara turun temurun.
“Kalau di kampung ini dulu mayoritas pengrajin dan penjual cobek, sehingga dikenal dengan babakan pariuk (alat menanak nasi dari tanah atau logam),” kata dia.
Memiliki anugerah tanah liat berwarna merah dan hitam yang pekat, membuat masyarakat sekitar berolah tanah menjadi bahan peralatan rumah tangga secara tradisional. Hasilnya, mayoritas peralatan cobek beragam ukuran hingga peralatan lain yang berasal tanah liat, mayoritas dipasok dari wilayah ini sejak lama.
Pengrajin tembikar lainnya, Entin (55) mengatakan, proses pembuatan cobek yang dilakukan warga Babakan Pariuk memang terbilang mudah dan sederhana.
“Bahan utamanya ya tanah liat baik yang merah ataupun yang hitam,” kata dia.
Kemudian kedua bahan tersebut diaduk hingga merata hingga menjadi bahan siap cetak untuk pembuatan cobek. “Biasanya kami simpan dulu semalam sebelum dicetak ‘Sintir’,” kata dia.
Setelah disimpan semalam, adonan bahan cobek yang tercampur sempurna dibentuk sesuai ukuran yang diharapkan pada Sintir, sebuah mesin pembuat bulatan, yang dibuat dari bekas mesin kendaraan.
Bahan yang sudah terbentuk kemudian dijemur 2-3 jam hingga akhirnya dibakar dengan waktu yang hampir sama. “Sebenarnya cuaca sangat menentukan, jika musim hujan seperti ini proses pembuatan bisa lebih lama,” ujar dia.
Entin menyatakan, rata-rata cobek hasil kerajinan warga Babakan Pariuk dipasarkan di wilayah Garut dan Bandung, sementara pangsa pasar terbesar berasal dari restoran dan warung nasi tradisional.
Sementara soal urusan harga, cobek produk olahan tangan UMKM masyarakat ini terbilang murah meriah. Untuk ukuran kecil dalam keadaan basah (sebelum dibakar) dijual Rp 600 per biji, sementara cobek kering yang sudah dibakar Rp 1.000 per biji, sedangkan ukuran sedang dan besar di jual di angka Rp 3.000 per biji atau sekitar Rp 60 ribu per kodi (berisi 20 buah).