Menang Referendum, Sawit Indonesia Bisa Dijual di Pasar Swiss

Ilustrasi petani sawit. (Istimewa)

Penulis: Tatang Adhiwidharta, Editor: Arif Sodhiq - Selasa, 9 Maret 2021 | 12:40 WIB

SariAgri -  Swiss menghapus bea masuk sawit asal Indonesia setelah menang dalam referendum dengan mengantongi 51,6 persen suara. Kesepakatan ini bertujuan untuk memfasilitasi penghapusan bea masuk atas ekspor Swiss seperti produk keju, farmasi, dan jam tangan.

Produk sawit asal Indonesia nantinya bisa dijual di pasar Swiss bebas bea cukai. Penurunan tarif juga direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit, dimana Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor terbesar di dunia.

Mereka yang mendukung referendum termasuk penentang globalisasi, partai sayap kiri dan beberapa organisasi non-pemerintah (LSM). Argumennya menentang kesepakatan perdagangan bebas bea sebagian besar karena faktor lingkungan. Menurut para penentang, menilai budidaya kelapa sawit memicu kerusakan hutan hujan.

Di sisi lain, para pendukung kesepakatan tersebut berpendapat bahwa minyak sawit yang diimpor harus memenuhi standar lingkungan tertentu agar memenuhi syarat untuk pengurangan tarif.

Presiden Swiss, Guy Parmelin, mengatakan masyarakat Swiss merasa kesepakatan perdagangan itu sudah benar dan seimbang. Ia menambahkan, kekhawatiran lawan akan diperhitungkan, dan Swiss akan mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan.

"Pemungutan suara ini bukanlah pilihan ekonomi atas hak asasi manusia dan lingkungan," kata Parmelin seperti dikutip Swiss Info.

Parmelin mengisyaratkan, kesepakatan perdagangan di masa depan juga dapat memasukkan klausul keberlanjutan. Namun, menekankan bahwa setiap kesepakatan itu memiliki keunikan dan tantangannya sendiri.

Kemenangan suara dalam referendum itu hanya selisih tipis bagi beberapa penentangnya. Direktur federasi bisnis Swiss, Economiesuisse, Monica Ruhl, mengharapkan kemenangan tegas untuk kesepakatan perdagangan bebas.

"Kami mengharapkan yang jelas ya. Keprihatinan penduduk harus ditanggapi dengan sangat serius," tambah Monica.

Pikirannya digaungkan oleh anggota parlemen Simone de Montmollin dari Partai Radikal-Liberal, yang telah berkampanye untuk kesepakatan perdagangan bebas.

Anggota parlemen lainnya, Fabio Regazzi dari The Center, yang juga bagian dari komite kesepakatan perdagangan bebas, setuju bahwa hutan dan hak-hak buruh penting. Namun, menurutnya Swiss harus mengingat bahwa pada akhirnya itu adalah kesepakatan ekonomi antara kedua negara.

Regazzi juga menyayangkan kampanye yang difokuskan pada isu kelapa sawit yang hanya mewakili sebagian kecil dari kesepakatan. Banyaknya keuntungan yang didapat dari kesepakatan itu bagi usaha kecil dan menengah tidak ada dalam perdebatan.

"Saya sama sekali tidak kecewa" dengan hasilnya, kata penggagas referendum Willy Cretegny, seorang petani anggur organik.

"Kami sudah menang sebelum hasil karena kami membuka debat," paparnya.

Bersamaan dengan hasil itu, sektor kelapa sawit di Indonesia sempat mengalami kemunduran kebijakan ekonomi di Eropa, kini juga dapat menghela nafas lega.

"Kami berterima kasih atas hasil pemungutan suara hari ini. Kesepakatan perdagangan ini merupakan solusi yang saling menguntungkan untuk industri minyak sawit, untuk Indonesia, Swiss, dan untuk semua negara EFTA, dan akan membawa manfaat positif bagi konsumen dan eksportir Swiss, serta petani kecil Indonesia. Suara Swiss menegaskan bahwa minyak sawit Indonesia berkelanjutan, "kata juru bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Baca Juga: Menang Referendum, Sawit Indonesia Bisa Dijual di Pasar Swiss
Rektor IPB University: Peluang Kelapa Sawit Majukan Indonesia Sangat Besar

Lembaga industri berharap hasil ini dapat membantu meyakinkan negara-negara Eropa lainnya bahwa minyak sawit dari Indonesia adalah terbaik. Hasil referendum ini keluar ketika Indonesia sedang menghadapi larangan Uni Eropa terkait penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati pada tahun ini.

Benih referendum sawit telah ditanam satu dekade lalu, ketika pada tahun 2010 kelompok aktivis lingkungan Greenpeace melawan raksasa makanan Swiss, Nestlé. Greenpeace menuduh Nestlé mendukung deforestasi di negara tropis dengan menggunakan minyak sawit yang tidak berkelanjutan dalam produknya.