RI Perlu Serius Pada Upaya Keberlanjutan Guna Sukseskan IE-CEPA

Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (Antara)

Penulis: Yoyok, Editor: Arif Sodhiq - Selasa, 9 Maret 2021 | 16:10 WIB

SariAgri - Indonesia perlu serius pada upaya-upaya keberlanjutan dalam kegiatan ekonomi untuk mensukseskan kemitraan Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia-EFTA CEPA). Upaya-upaya keberlanjutan tersebut meliputi metode budidaya tanaman dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan juga pelaksanaan kegiatan ekonomi yang memperhatikan unsur keberlanjutan dan tidak eksploitatif. Hal ini penting untuk mendukung kelancaran komoditas Indonesia dalam memasuki dan bersaing di pasar Eropa.

Hal itu disampaikan peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, di Jakarta, Selasa (9/3), menanggapi lolosnya perjanjian dagang antara Indonesia dan EFTA dalam kerangka CEPA pada referendum Swiss.

Diketahui, lolosnya perjanjian dagang Indonesia dan EFTA merupakan berita baik bagi hubungan antara Indonesia dan Swiss, beserta negara-negara EFTA lainnya yaitu Liechtenstein, Norwegia dan Islandia. Pada referendum yang dilakukan tersebut, Indonesia-EFTA CEPA atau yang juga dikenal dengan istilah IE-CEPA lolos tipis hanya dengan 51,6 persen suara dari total 2,7 juta penduduk yang tercatat memberikan suaranya dalam referendum. Hal ini menandakan bahwa masih banyak warga Swiss yang khawatir dengan isu keberlanjutan di Indonesia terlepas dari suara mayoritas dalam referendum. Jika Indonesia ingin mengoptimalkan manfaat IE-CEPA dan meningkatkan ekspor ke pasar EFTA, maka Indonesia perlu terus menunjukkan peningkatan praktik keberlanjutannya terutama dalam implementasi dari perjanjian ekonomi ini. 

Secara khusus, dalam perjanjian IE-CEPA terdapat klausul yang mengamanatkan pentingnya upaya para pihak yang terikat dalam perjanjian ini untuk menekankan informasi, pendidikan, dan pelatihan tentang keberlanjutan di semua tingkatan guna berkontribusi pada pembangunan sosial yang berkelanjutan. Bahkan di dalam Annex dari perjanjian tersebut juga tercantum komitmen mengenai Kerja Sama Terkait Perdagangan dan Kegiatan Peningkatan Kapasitas yang juga menyasar produk kelapa sawit sehingga memberi ruang bagi negara EFTA dan Indonesia melalui program Platform Komoditas Berkelanjutan Nasional.

“Isu keberlanjutan dalam pertanian, yang paling sering disorot adalah komoditas kelapa sawit dengan produk olahannya berupa minyak sawit, sudah lama disorot oleh negara-negara Eropa. Indonesia dinilai menjalankan praktik pertanian dan ekonomi yang tidak sustainable dan tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan. Hal ini hendaknya menjadi masukan yang perlu diperhatikan dengan serius oleh pemerintah. Kalau kita semua memikirkan nasib para petani kelapa sawit dan mereka yang tergantung pada industri ini, masukan seperti ini sangat layak untuk dipertimbangkan untuk menjaga kelangsungan komoditas ini dan memperluas jangkauan pasarnya,” jelas Pingkan. 

IE-CEPA diharapkan dapat membuka akses pasar, memperkuat transfer teknologi, pengetahuan, dan kapasitas, serta mendorong investasi bagi Indonesia. Melalui perjanjian ini Indonesia nantinya dapat menjual produk industrinya di pasar EFTA dan menikmati penurunan tarif yang saat ini direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit yang merupakan salah satu komoditas ekspor utama Indonesia. Lebih jauh dari itu, Indonesia juga didorong untuk terus meningkatkan standar dan praktik keberlanjutan yang tertuang dalam Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang menjadi perhatian bagi Swiss dan menjadi faktor utama diadakannya referendum yang baru saja terjadi. Jika Indonesia ingin mengoptimalkan manfaat IE-CEPA dan meningkatkan ekspor ke pasar EFTA, maka Indonesia perlu terus menunjukkan komitmennya dalam peningkatan praktik keberlanjutan dan perhatian pada aspek lingkungan.

Hasil dari referendum Swiss ini juga mengukuhkan kesempatan Indonesia dalam pembahasan perjanjian kemitraan perdagangan dengan negara-negara lain yang memiliki perhatian khusus pada aspek perdagangan dan keberlanjutan. Pada bulan Februari yang lalu, pemerintah Indonesia dan Uni Eropa kembali melanjutkan proses perundingan kesepuluh membahas Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). Dari ragam aspek isu runding, perdagangan dan keberlanjutan merupakan isu runding yang mendapatkan perhatian besar dari negara-negara Uni Eropa. Untuk itu, hasil dari referendum Swiss ini menjadi penting untuk digarisbawahi dan mendapatkan pertimbangan bagi pemerintah Indonesia maupun Uni Eropa dalam mencapai kesepakatan pada pembahasan-pembahasan selanjutnya mengenai I-EU CEPA.

IE-CEPA ini sendiri termasuk perjanjian dengan proses perundingan yang panjang. Pada 7 Juli 2010, Presiden Republik Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, bersama dengan Presiden Swiss, Doris Leuthard, meluncurkan perundingan IE-CEPA. Terhitung sejak Januari 2011 hingga Mei 2014 telah terjadi 9 kali perundingan yang membahas 12 ragam aspek mulai dari perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, pengadaan pemerintah, kerja sama ekonomi dan pengembangan kapasitas, ketentuan asal barang dan fasilitasi perdagangan, hambatan teknis perdagangan beserta tindakan sanitary dan phytosanitary, instrumen pengamanan perdagangan, kekayaan intelektual, persaingan usaha, ketentuan legalitas, sampai pada isu runding yang paling mendapat sorotan masyarakat Swiss yaitu perdagangan dan pembangunan berkelanjutan.

Baca Juga: RI Perlu Serius Pada Upaya Keberlanjutan Guna Sukseskan IE-CEPA
Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor Guna Keberlanjutan Produksi Sawit

Walaupun perundingan sempat terhenti di tahun 2014 karena pemerintah Indonesia mengalami masa transisi akibat pemilihan umum, perundingan kembali dilanjutkan pada tahun 2016. Berselang dua tahun, pada 2018, Indonesia dan EFTA berhasil menyelesaikan total 15 perundingan substansial IE-CEPA dari 2011 hingga 2018 yang ditandai dengan adanya Joint Announcement dan penandatanganan Joint Statement oleh perwakilan dari kelima negara yang berpartisipasi di Sekretariat EFTA di Jenewa pada 23 November 2018.

“Pemerintah juga perlu mengevaluasi berbagai kebijakan perdagangan yang selama ini diterapkan, melihat apakah kebijakan tersebut dapat mendukung berbagai kemitraan ekonomi yang Indonesia jalin dengan berbagai negara dan kawasan. Kemitraan yang disepakati tentu harus didukung oleh kebijakan yang sesuai, yang mengarah pada tercapainya tujuan dari kemitraan tersebut,” ungkap Pingkan.