PPN Sembako Dibatalkan, Saatnya Jaga Daya Beli Masyarakat

Ilustrasi sembako. (Pixabay)

Penulis: Yoyok, Editor: Arif Sodhiq - Selasa, 5 Oktober 2021 | 15:50 WIB

Sariagri - Pembatalan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembilan bahan pokok (Sembako) merupakan keputusan tepat karena hal ini dapat membantu menjaga daya beli masyarakat yang sudah banyak melemah akibat pandemi Covid-19.

“Walaupun pembatalan ini belum final, dikecualikannya sembilan bahan pokok dari objek yang dikenai PPN perlu diapresiasi. Pandemi Covid-19 menyebabkan pendapatan sebagian masyarakat berkurang bahkan hilang. Hal ini menyebabkan daya beli menjadi rendah. Mereka memilih mengonsumsi pangan murah dan mengenyangkan yang belum tentu bergizi. Kalau (PPN) dikenakan sembako, komoditas pokok ini dikhawatirkan menjadi semakin tidak bisa dijangkau,” ujar Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta di Jakarta, Selasa (5/10).

Pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) batal mengenakan PPN Sembako. Tadinya, pemerintah akan mengenakan PPN bagi barang barang kebutuhan pokok, yaitu beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi.

Menuurt Aditya, secara umum kenaikan harga, termasuk dengan pengenaan PPN, akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat padahal, belanja rumah tangga, bersama konsumsi pemerintah, merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional di saat sulit seperti sekarang ini.

Pengenaan PPN pada sembako tidak saja akan meningkatkan harga pangan dan karenanya mengancam ketahanan pangan, bukan hanya bagi yang berpendapatan rendah, tetapi juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum.

“Tingginya harga bahan pangan di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama beberapa tahun ke depan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.” jelas Aditya.

Untuk diketahui, pangan merupakan salah satu komponen utama pengeluaran rumah tangga, dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka. PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen.

Ketahanan pangan Indonesia sendiri berada di peringkat 65 dari 113 negara, berdasarkan Economist Intelligence Unit's Global Food Security Index 2020. Salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia adalah masalah keterjangkauan.

Baca Juga: PPN Sembako Dibatalkan, Saatnya Jaga Daya Beli Masyarakat
HPP Gula Bakal Dinaikkan, Peneliti: Mesti Dibarengi Efisiensi Produksi

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang atau sekitar 10 persen penduduk. Jumlah ini menunjukkan kenaikan sebesar 1,12 juta orang di bandingkan Maret 2020.

Garis Kemiskinan pada Maret 2021 tercatat sebesar Rp472.525,00 per kapita per bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp349.474,00 (73,96 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp123.051,00 (26,04 persen).