Cukai Naik, Penjualan Rokok Kemasan Kecil Harus Dilarang

Ilustrasi display rokok. (Istimewa)

Penulis: Yoyok, Editor: Reza P - Rabu, 15 Desember 2021 | 15:30 WIB

Sariagri - Kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) akan sia-sia tanpa aturan yang jelas. Untuk itu, pemerintah harus menyiapkan aturan ke industri agar tidak menjual rokok kemasan kecil dan melarang ritel atau warung kelontong menjual ketengan.

"Di Indonesia pengaturan kemasan masih sangat lemah. Kalau industri diperbolehkan menjual di kemasan kecil dan tidak diatur, maka harga rokok tetap murah serta tetap bisa dibeli," kata Chief Strategist of Center for Indonesia Strategi Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa di Jakarta, kemarin.

Ia menilai hasil riset yang dilakukan bahwa konsumsi rokok tidak turun selama pandemi Covid-19.

Yurdhina menuturkan para perokok tetap mencari cara untuk membeli rokok yang harganya masih terjangkau.

"Saat ini perokok aktif sekarang ini sudah mulai di bawah 19 tahun. Dan harga rokok murah sekali hanya Rp 1.000 per batang," tuturnya.

Yurdhina menyoroti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) terus mengalami penurunan terkait prevalensi perokok. Target prevalensi peluang merokok untuk kelompok umur 10-18 tahun dan 10 tahun ke atas menurun dari tahun 2019 dan tahun 2020 dilihat dari tahun 2017.

"Kalau RPJMN sebelumnya perokok pemula ada di kisaran sembilan koma sekian persen. Di RPJMN baru malah turun menjadi 8,7 persen. Jadi kami melihat ada sinyal bahaya," jelasnya.

Yurdhina juga menyayangkan kenaikan cukai rokok hanya 12 persen, padahal ada kans menaikkan tarif CHT sampai 45 persen. Namun tidak dipungkiri, langkah ini adalah kemajuan dari sisi penyederhanaan tiers rokok.

"Kami senang karena Kementerian Keuangan berani mengeksekusi rencana strategis sendiri di tengah mungkin tarikan ketidaksetujuan oleh kementerian lain yakni Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian," pungkasnya.

Sementara itu, Sekjen Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Kudus, Jawa Tengah, Badaruddin, mengatakan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan berpotensi memperburuk nasib buruh.

Dia menjelaskan, Industri Hasil Tembakau (IHT) banyak mempekerjakan tenaga kerja, khususnya sektor padat karya Sigaret Kretek Tangan (SKT). "Berbagai elemen industri hasil tembakau gelisah atas rencana pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada 2022," ujarnya.

Menurut Badaruddin, bila kenaikan cukai rokok terjadi, pabrikan akan melakukan sejumlah penyesuaian hingga dapat memperburuk nasib buruh.

Baca Juga: Cukai Naik, Penjualan Rokok Kemasan Kecil Harus Dilarang
Kemenkeu: Pembahasan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau sampai ke Meja Presiden Jokowi

"Pengurangan bahan baku dan pengurangan tenaga kerja bakal terjadi sebagai bentuk efisiensi di perusahaan," katanya.

Karena itu, kenaikan cukai rokok dinilainya membuat segmen SKT yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja akan terdampak paling berat.

Badruddin menambahkan, selama ini pekerja SKT bekerja dengan sistem manual serta pengupahan sesuai dengan hasil produksi. Jika produksi rokok menyusut, maka pendapatan pekerja SKT akan berkurang juga dan buruh ini tidak memiliki akses untuk mencari pekerjaan lain.

“Industri ini mau dan mampu menyerap tenaga kerja perempuan, mayoritas tamatan SD dan SMP,” ucapnya.