Laporan Khusus: Gonta-ganti Kebijakan Minyak Goreng, Sampai Kapan?

Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)

Penulis: Arif Sodhiq, Editor: Reza P - Jumat, 29 April 2022 | 12:05 WIB

Sariagri - Drama minyak goreng belum juga menemukan happy ending. Meski pemerintah telah gonta-ganti kebijakan untuk menstabilkan harga komoditas itu namun hasilnya masih jauh dari harapan. Teranyar, pemerintah melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya yang mulai diberlakukan pada 28 April 2022.

Kenaikan harga minyak goreng telah terjadi sejak November 2021 dan terus fluktuatif hingga saat ini. Penyebabnya kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO)di pasar global.

Selain itu, produksi biodiesel turut memengaruhi harga minyak goreng karena pasokan produk turunan CPO lebih banyak digunakan untuk kebutuhan bahan bakar nabati. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencatat peningkatan produksi CPO untuk bahan bakar nabati sebesar 24 persen dari 2019-2020. Dampaknya terjadi penurunan pangsa CPO yang diolah menjadi komoditas pangan seperti minyak goreng.

Kebutuhan CPO untuk produksi biofuel menunjukkan kecenderungan meningkat dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,38 juta ton pada 2021.

"Jumlah tersebut diperkirakan meningkat pada 2022 seiring dengan meningkatnya konsumsi biodiesel yang diperkirakan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) berjumlah 8,83 juta ton," ujar peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta.

Konflik Rusia-Ukraina yang telah berlangsung sejak Februari 2022 ikut memperburuk keadaan. Seperti diketahui Ukraina merupakan produsen utama bahan sunflower oil. Dampak konflik kedua negara itu memaksa pasar Eropa mencari alternatif pengganti.

Data Kementerian Perdagangan (Kemendag menyebutkan) harga minyak goreng kemasan Rp18.464 per liter pada November 2021 dan naik menjadi Rp19.771 per liter (Desember 2021) dan Rp20.488 (Januari 2022). Harga minyak goreng kemasan pada Februari 2022 turun menjadi Rp18.302 per liter.

Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)
Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)

Kini meski ketersediaannya sudah mulai teratasi, harga minyak goreng curah dan kemasan masih fluktuatif. Bahkan di beberapa daerah harga minyak goreng curah masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan yaitu Rp14.000 per liter.

Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS Nasional), Jumat (29/4/2022) pagi, harga minyak goreng curah di sebagian besar provinsi di Indonesia masih di atas HET.

Hanya minyak goreng curah di bawah HET hanya di dua provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) Rp13.500 per liter dan Bengkulu Rp13.800 per liter. Di luar dua provinsi itu harga minyak goreng curah di atas HET, terendah Rp15.700 per liter di Kepulauan Riau dan tertinggi di Gorontalo Rp28.500 per liter.

Bagaimana dengan harga minyak goreng kemasan? Harga minyak goreng kemasan di Pulau Jawa tertinggi di DKI Jakarta Rp27.000 per liter, terendah di DI Yogyakarta Rp21.750. Sementara di luar Pulau Jawa, harga minyak goreng tertinggi Rp48.750 di Sulawesi Tenggara, terendah di Lampung RpRp21.400.

Gonta-ganti kebijakan minyak goreng

Pemerintah berpacu dengan waktu untuk mengatasi persoalan minyak goreng di tanah air. Semakin cepat persoalan itu teratasi semakin baik. Sebaliknya jika berlarut-larut akan semakin menambah beban masyarakat yang saat ini sudah berat.

Berbagai jurus telah dilakukan pemerinta namun belum mampu meredam gejolak. Awalnya pemerintah membuat kebijakan satu harga minyak goreng curah Rp11.500, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 dan minyak goreng kemasan premium Rp14.000.

Kebijakan satu harga kemudian dicabut diganti dengan penerapan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng. Namun kebijakan ini juga gagal mengatasi krisis minyak goreng.

Kebijakan lainnya, pemberikan subsidi minyak goreng curah justru menimbulkan permasalahan di tingkat produsen karena biaya produksi yang berbeda-beda. Dampaknya harga minyak goreng curah malah jauh dari ketetapan HET yang telah ditetapkan Rp14.000 karena biaya produksinya juga tinggi.

Teranyar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai 28 April 2022. Kebijakan ini menuai pro dan kontra di kalangan anggota dewan termasuk dari politisi PDI Perjuangan di Komisi VI DPR RI.

Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)
Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)

Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam menilai kebijakan itu membuktikan negara mendahulukan kepentingan rakyat. Menurut dia, negara hadir melawan kepentingan pengusaha CPO dan oligarki sawit yang sedang berburu cuan saat di pasar global melambung. Kebijakan itu dinilai Mufti sejalan dengan pemikirannya

"Intinya sejak awal saya memang bilang bahwa pemerintah harus banjiri pasar dahulu sampai situasi normal, sampai harga baru yang terjangkau ini terbentuk. Baru buka kembali keran ekspor," tandasnya.

Dia menyebut fenomena beberapa bulan terakhir sebagai sebuah ironi, di mana Indonesia sebagai produsen CPO terbesar justru mengalami kelangkaan minyak goreng. Kebijakan pemerintah, lanjut dia, menegakkan kembali kedaulatan dan kemampuan Indonesia produsen CPO raksasa dunia.

Sementara Anggota Komisi VI DPR lainnya Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta pemerintah mengkaji kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Alasannya kebijakan itu bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng.

Deddy menilai kebijakan itu akan tepat jika dilakukan dalam jangka pendek sebagai langkah untuk memastikan kecukupan pasokan di dalam negeri serta penurunan harga di tingkat domestik. Dia mengingatkan sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil.

"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga dan ini merugikan petani-petani kecil yang ada di pedalaman, terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang, dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng," katanya.

Menurut dia, seharusnya pemerintah tahu moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar, khususnya perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya. Perusahaan itu memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar dan pilihan lain untuk menghindari kerugian.

Dengan pelarangan ekspor, industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Kebutuhan minyak goreng bermasalah hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton per tahun, dibandingkan total produksi 47 juta ton per tahun untuk CPO dan 4,5 juta ton per tahun untuk palm kernell oil (PKO).

Ancaman tsunami inflasi global

Sebagai produsen utama minyak sawit, Indonesia memiliki posisi penting dalam perdagangan minyak nabati dunia. Diperkirakan kontribusi CPO Indonesia dalam ekspor minyak nabati global lebih dari 60 persen.

Kebijakan pemerintah melarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya akan berdampak pada stabilitas pangan global karena bahan baku minyak goreng dibutuhkan banyak negara.

Larangan ekspor minyak sawit dan bahan bakunya dipastikan akan berpengaruh besar pada inflasi dagang dunia. Ini bisa menjadi kabar buruk bagi konsumen minyak nabati di dunia.

Kurangnya pasokan minyak bijih matahari, minyak kedelai dan rapeseed oil telah menumbuhkan ketergantungan pada minyak sawit. Untuk mendapatkan pasokan minyak nabati, tidak ada pilihan lain bagi negara importir kecuali membayar dengan harga lebih tinggi.

Dampaknya harga minyak nabati melonjak yang menambah tekanan harga pangan dunia. Kondisi ini masih diperburuk dengan kekhawatiran keamanan pangan global akibat pengaruh cuaca buruk dan invasi Rusia ke Ukraina.

Selain sebagai bahan utama minyak goreng, minyak sawit juga digunakan dalam aneka produk pangan hingga kosmetik. Ini akan menambah tekanan kenaikan harga komoditas rumah tangga secara global.

Larangan ekspor sawit dan bahan bakunya akan berdampak pada kenaikan harga produk turunan dari minyak sawit seperti minyak zaitun hingga minyak kelapa di pasar glonal. Ini bukan kabar baik karena sejak Maret 2022 harga minyak sawit mentah sudah melonjak.

Kebijakan larangan ekspor diprediksi tidak lama

Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan larangan ekspoor minyak goreng dan bahan bakunya terkesan plin-plan atau berubah-ubah. Pada 22 April 2022, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan larangan ekapor minyak goreng dan bahan bakunya per 28 April 2022.

Empat hari kemudian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga dalam konferensi pers 26 April 2022 menekankan larangan ekspor hanya untuk Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein).

Namun, hanya berselang sehari atau pada 27 April 2022 malam, Airlangga kembali menggelar konferensi pers. Kali ini dia mengumumkan larangan ekspor mencakup seluruh produk sawit mulai dari CPO, dan turunannya termasuk RPO, RBD Palm Olein, POME dan minyak goreng.

Pernyataan kedua Airlangga sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 yang mengatur pelarangan sementara Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil mulai 28 April 2022.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan seharusnya Menteri Perdagangan M Lutfi yang mengumumkan Permendag Nomor 22/2022 ke publik.

"Yang ngomong RBD aja itu kan menteri ekonomi setelah bertemu dengan industri CPO kan. Kemarin Airlangga ngomong gitu belum tahu sebabnya, itu seharusnya tidak boleh masa dia mau melawan perintah atasan. Harusnya Menteri Perdagangan yang membuat konferensi pers. Dia harus ngomong apa dasarnya, yang dia buat itu (Permendag) yang disebut Presiden," kata Agus saat dihubungi Sariagri.id, Kamis (28/4/2022).

Menurut Agus, kebijakan larangan ekspor itu sudah pasti menimbulkan kerugian pada pendapatan negara maupun petani kelapa sawit. Hal terpenting yang perlu diperhatikan pemerintah, lanjut dia, adalah keseimbangan supply dan demand sesuai hukum ekonomi.

"Yang adil cuma Tuhan, mana bisa manusia bisa bikin keadilan. Yang penting keseimbangan hukum ekonomi yaitu keseimbangan suplai dan demand," katanya.

Untuk diketahui nilai ekspor CPO Indonesia pada 2021 menjadi 28,52 miliar dolar AS atau melonjak 54,61 persen dari tahun sebelumnya. Sementara volume ekspornya 26,9 juta ton turun 1,57 persen dibanding tahun sebelumnya.

Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) secara komulatif volume ekspor RBD palm olein 10 juta ton per tahun. Total volume ekspor periode 2018-2019 di kisaran 12 juta ton per tahun.

Sempat turun menjadi 10,4 juta ton pada 2020, volume ekspor bahan baku minyak goreng kembali naik di angka 12,7 juta ton pada 2021. Sedangkan untuk tahun berjalan Januari-Februari 2022 total volumenya 1,14 juta ton. 

Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)
Gonta-ganti Kebijakan Kendalikan Harga Minyak Goreng. (Wahidin/Sariagri)

Pelarangan ekspor CPO dan minyak goreng belum tentu secara otomatis akan menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri jika tidak dibarengi dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan.

Pemerintah disarankan kembali menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) kepada produsen sawit dengan pengawasan kepatuhan produsen dan distributor yang lebih ketat.

"Kemarin saat ada DMO kan isunya soal kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi. Sekali lagi tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasannya lemah," ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira kepada Sariagri.id.

Bhima memprediksi Indonesia akan kehilangan banyak devisa negara akibat larangan ekspor CPO. Jika pelarangan ekspor CPO berlangsung selama satu bulan penuh, Indonesia akan kehilangan devisa hingga 3 miliar dolar AS (sekitar Rp43,3 triliun).

"Selama bulan Maret 2022 saja, ekspor CPO nilainya mencapai 3 miliar dolar AS. Jadi estimasinya jika pelarangan ekspor berlaku satu bulan penuh maka akan kehilangan devisa sebesar 3 miliar dolar AS. Itu setara 12 persen total ekspor non migas kita," kata Bhima.

Sementara Guru Besar Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Prof. Thamrin Usman DEA memprediksi kebijakan pelarangan ekspor CPO tidak akan berlangsung lama. Dia menyebut beberapa faktor yang akan melunakkan larangan ekspor itu

Faktor itu di antaranya pajak ekspor CPO yang cukup besar. Selama ini pemerintah memanfaatkan pajak ekspor CPO untuk memberikan subsidi kepada komitmen dunia terhadap penurunan emisi di Indonesia dalam bentuk bantuan terhadap harga jual biodiesel.

"Faktor lainnya yakni akibat dari perang Rusia dengan Ukraina. Kita ketahui bahwa Ukraina sebagai negara penghasil minyak goreng dari bunga matahari di Eropa tidak dapat menyuplai kebutuhan minyak goreng. Ditambah lagi, dengan produksi kedelai yang tidak optimal pada tahun ini berakibat pada berkurangnya suplai total minyak goreng dunia. Dampak itu dunia akan mengandalkan suplai alternatif dari CPO,” ujarnya.

Baca Juga: Laporan Khusus: Gonta-ganti Kebijakan Minyak Goreng, Sampai Kapan?
Larangan Ekspor CPO Diprediksi Hanya Sebentar, Ini Faktor Penyebabnya

Faktor lainnya, posisi Indonesia sebagai pimpinan G20. Dia menilai para pemimpin negara yang tergabung dalam G20 seperti Prancis, Jerman, Italia, dan lain-lain akan mendesak Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan kembali larangan ekspor CPO. Hal ini beralasan karena mereka sedang krisis gas dan minyak bumi yang disuplai dari Rusia dan tidak ingin kebutuhan minyak goreng menjadi tambahan masalah.

Terakhir, faktor kelebihan stok CPO. Dengan pelarangan ekspor ini akan menambah CPO yang tersisa dan tentunya berpotensi menimbulkan masalah baru yaitu tidak terpakainya cadangan CPO yang ada. (Putri, Usman, Dwi)